Selasa, 25 Oktober 2011

KAMU, BEIBY KU SAYANG...




Malam yang gerah, panas, gersang untuk perasaan dan hatiku sekarang. Padahal suasana malam tidak seburuk hatiku. Sebenarnya malam ini sangat damai dan sejuk tapi tidak untukku. Aku merasa angin bertiup dan hembusannya membisikkan telingaku hanya untuk merayu dan membujukku. Belaiannya pada rambutku hanya untuk menggodaku. Sungguh aku benci, sangat benci. Kesal! Huh! Duduk termangu di jendela kamar dengan perasaan kesal! Benci! Marah! Yah apa lah semuanya.

“Sayang, bagaimana nak”, tanya ibuku yang tiba-tiba menghampiriku. “Pokoknya Sinta ga mau, Sinta ga suka bu. Ibu bisa ga ngerti Sinta? Kayaknya dari kemarin tuh itu-itu terus yang di omongin. Sinta bosen bu”, jelas Sinta pada ibunya dengan nada kesal tapi tetap tenang. “Nak, tapi ibu setuju sekali Sinta. Ibu sangat bahagia kalau kamu sama dia” jelas Ibu dengan wajah tenang. “Tapi kan sekarang bukan zamannya Siti Nurbaya bu. Sinta bisa kok pilih sendiri mana laki-laki yang pantas untuk Sinta”, tandas ku lagi. “Iya ibu mengerti sayang, tapi insyaallah dia bisa memimpinmu”, balas ibu lagi tidak mau kalah tapi tetap tenang. “Aku ga mau bu, Sinta mohon ibu mengerti”, kata ku sambil menangis. “Sudah malam sayang, baiknya kamu istirahat yah”, kata ibu sambil mencium keningku. Aku cemberut diam tak bergeming.
Yah, itu dia itu yang sangat membuatku kesal, marah, benci dengan hal itu. PERJODOHAN! Sudah hampir sebulan keluargaku membujukku untuk menikah dengan laki-laki pilihan mereka. Ayah, Ibu juga ke-3 kakakku, mereka semua telah memilihkan laki-laki untukku yang pastinya aku juga tidak kenal bahkan tidak juga jatuh cinta. Ke 3 kakakku yang semuanya laki-laki mereka semua telah menikah, ya hanya tinggal aku putri bungsu yang masih perawan. Tadinya hubungan kami baik-baik saja tidak ada keadaan seperti  ini. Tapi setelah pembicaraan perjodohan itu aku hampir merasa tak nyaman berada di rumah. Awalnya aku menolak secara perlahan dan juga baik-baik namun nampaknya keluargaku begitu menyayangi laki-laki itu. Rumah ini seperti terjadi perang dingin, terkadang diam seribu bahasa terkadang juga ramai dengan ocehan-ocehan perjodohan.
Kakak – kakakku kan tidak ada yang dijodohkan. Kenapa aku mesti dijodohkan. Ini tidak adil. Apa karena aku ini perempuan sehingga di anggap tidak pandai memilih? Apa karena aku putri bungsu? Ah sungguh tidak adil bagiku. Apa pun alasannya.
“Assalamu alaikum Sin”, salam ayah dari luar pintu kamar. “Wa alaikum salam , masuk yah pintunya gak di kunci”, jawabku. “Nak, kamu sudah mandi toh. Baguslah kalau gitu sekarang berpakaian yang rapi. Ayah tunggu kamu di bawah”, kata ayahku. “Emang mau ada apa yah?”, tanyaku penasaran. “Ya udah ga ada apa-apa”, kata ayah singkat. Curiga! Tak biasanya ayah menyuruhku dengan bilang tidak ada apa-apa. Tapi ya sudahlah. Aku sebenarnya tidak bisa melawan kedua orangtuaku, apa pun yang mereka suruh pasti aku patuh asal tidak bertentangan saja dengan ajaran Allah. Tapi untuk masalah perjodohan ini ntah kenapa aku sangat menolaknya.
Setibanya di ruang tamu...
Ku lihat seseorang duduk di samping ayahku. Siapa dia? Apakah teman ayah? Tapi nampaknya masih muda. Sudahlah bukan masalah kok.
“Sini nak, duduk”, pinta ayah. Aku pun duduk tepat di kursi depan ayah duduk. “Sinta perkenalkan ini Ahmad anaknya teman ayah”, jelas ayah padaku. Aku hanya tersenyum tapi biasa saja. Memang tampan, tapi siapa dia juga aku tidak peduli. Memang sopan dan santun, tapi aku juga ga peduli. Pokoknya ga peduli. “Sinta, Ahmad ini adalah laki-laki yang sebenarnya akan ayah jodohkan denganmu”, kata ayah yang membuat hatiku kaget. Aku sungguh kaget, marah, kesal. Apa-apaan ini? Ah sungguh aku tak mengerti dengan semua ini. Memang aku tak pernah di kasih tau siapa nama laki-laki itu dan bagaimana orangnya, foto pun tidak. Aku hanya terdiam seribu bahasa. Aku marah, kesal, tapi aku tetap mencoba untuk tenang.
“Oh gitu yah, ini orangnya”, aku tersenyum kecut. “Iya, bagaimana apakah kamu setuju?”, tanya ayah lagi yang masih terus-terusan membujukku. “Hmmm, nanti Sinta pikir-pikir lagi deh ya ayah”, jawabku yang mungkin tidak membuat hati kedua laki-laki yang duduk di hadapanku ini lega. “Maaf ya Sin, ayah ga kasihtau kamu dulu kalau Ahmad mau datang kesini. Sebenarnya ini juga ayah yang suruh dia datang kesini untuk menemui kamu”, jelas ayah. “Iya ga apa-apa ga masalah kok yah”, jawabku singkat dan cuek. “Ya udah ya yah Sinta mau ngerjain tugas kampus dulu udah ga ada yang penting lagi kan untuk di omongin?”, tanya Sinta.
“Ga apa-apa Sinta, kalau lagi sibuk silakan teruskan tugas kamu. Ga ada hal yang penting lagi kok”, jelas pemuda itu membuka suara sambil tersenyum. Aku hanya tersenyum dan secepat kilat aku balik badan dan naik ke kamar.
Mungkin ini jalan terbaik, aku menggantungkan keadaan ini, karena aku pikir orangtuaku akan luluh dan jenuh dengan semua jawaban-jawabanku dan ya mungkin mereka akan menggagalkan perjodohan ini. Tapi nyatanya mereka semua masih bertahan dengan benteng-benteng mereka. Aku juga tak mau kalah. Semoga bentengku juga lebih kuat.
“Sinta, boleh ayah masuk ke dalam?”, tanya ayah di depan pintu kamarku yang tidak aku tutup. “Masuk aja yah”, kataku sambil mengetik tugas di laptopku. “Nak, apa kamu benar-benar tidak mau, tidak setuju dengan pilihan kami?”, kata ayah bertanya ke sekian kalinya. Aku hanya diam dan tidak peduli. Aku terus mengerjakan tugas kampusku. “Sinta, Ahmad itu orangnya baik. Dia anaknya teman ayah waktu SMA dulu. Ayahnya sudah lama meninggal dan ia sempat berpesan untuk menjodohkan anaknya dengan kamu. Ahmad anaknya patuh, sopan, santun, alim, berwibawa, bersahaja, dewasa dan pastinya dia pasti bisa menuntunmu nak di jalan Allah”, jelas ayah padaku mengobral kebaikan Ahmad. Tapi aku tetap tidak peduli, aku hanya diam.
Mungkin diamku ini membuat ayah tidak bisa membujukku lagi. Kemudian ayah balik badan dengan wajah kecewa. “Yah, Sinta bisa kok cari laki-laki pilihan Sinta sendiri. Kenapa sih mesti di jodohkan? Mas Farhan, Mas Fahri, dan Mas Fikri juga mereka tidak dijodohkan”, kataku panjang lebar. “Baiklah kalau memang kamu maunya begitu. Kenalkan pada ayah siapa laki-laki itu. Ayah kasih waktu kamu dalam seminggu, tapi kalau tidak kamu harus terima perjodohan ini, bagaimana?”, pinta ayah menyodorkan tawaran. “Baiklah ayah Sinta terima tawaran ayah”, kataku sangat yakin.

 to be continue........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar